Mumi Dari Wamena, tidak Kalah Dari Firaun
MUMI Wamena, bisa jadi, tidak sekondang mumi para Firaun Mesir.  Namun,  sensasinya tak kalah kuat. Apalagi, pengunjung tidak hanya bisa  melihat  mumi berusia ratusan tahun tersebut. Pengunjung juga diizinkan  untuk  berfoto dengan mumi yang bentuk beberapa organ tubuhnya masih  tampak  jelas itu.
Tak  aneh, desa tempat mumi tersebut seolah menjadi lokasi yang wajib   dikunjungi oleh siapa saja yang ke Wamena. Sebut, misalnya, Mumi Wim   Motok Mabel di Desa Yiwika, Distrik Kurulu, Wamena, Papua.
Untuk mencapai  Wamena, pengunjung dari luar Papua harus transit dulu  di Bandara  Sentani, Jayapura. Dari Sentani, kita harus menggunakan  pesawat udara  lagi. Sebab, sampai saat ini jalur udara itulah  satu-satunya cara yang  bisa ditempuh untuk mencapai Wamena.
Tiket  pesawat Jayapura-Wamena Rp 880 ribu per orang. Tidak terlalu  mahal,  mungkin. Tapi, mendapatkannya tidak mudah. Maklum, pesawat yang   tersedia terbatas.
Setelah  dapat tiket pun, belum bisa dipastikan kita akan sampai di  Wamena.  Masih ada penentu lain. Cuaca. Untuk mencapai Wamena, pesawat  harus  melalui celah di antara dua bukit. “Bila cuaca sedang tidak bagus   sehingga celah itu berkabut, pesawat biasanya kembali ke Bandara   Sentani,” tutur seorang calon penumpang di Bandara Sentani. Mendebarkan?   Mereka yang gemar bertualang mungkin menganggapnya mengasyikkan.
Tiba di Bandara Wamena, tinggal pilih, mau langsung ke perkampungan  tempat mumi berada atau beristirahat dulu.

Bila  mau langsung menuju  lokasi, kita bisa memanfaatkan jasa taksi bandara.  Tarifnya Rp 100 ribu  per jam atau Rp 800 ribu per hari. Bila  pengunjung ingin beristrahat  dulu, di sekitar Bandara ada hotel dan  penginapan. Tarif terendah Rp 250  ribu per hari.
Perkampungan  mumi di Distrik Kurulu, Jaya Wijaya, berjarak sekitar 30  kilometer  atau 25 menit perjalanan dari Kota Wamena. Sepanjang  perjalanan, mata  seolah dimanjakan dengan pemandangan alam terbuka yang  berbukit-bukit  dan menawan.
Lalu,  wow! Sekitar 15 menit perjalanan, menjelang memasuki desa  tempat mumi  berada, di kiri jalan tampak bukit dengan hamparan putih di   sekelilingnya. Salju? Bukan. Hamparan putih itu pasir. Tapi, memang,   pasir itu terlihat putih sekali.
Setelah  25 menit perjalanan, sampailah kita tiba di kampung mumi.  Perkampungan  itu dihuni 20 kepala keluarga. Di bagian depan perkampungan  ada pintu  masuk yang hanya dibuka saat ada tamu.
Begitu  kami masuk halaman perkampungan, mereka langsung menyambut  kami dengan  ramah. Yang perempuan mengenakan sali (rok dari kulit kayu),  sedangkan  yang laki-laki memakai koteka. Kesan primitif sangat terasa.  Namun,  ada yang bilang bahwa mereka sebetulnya sudah berkain seperti  kita  sehari-hari. “Tapi, mereka langsung buka baju begitu tahu ada   pengunjung,” kata seorang teman yang asli Wamena.
Lingkungan  di perkampungan itu juga masih terkesan alami. Di kiri  kanan tampak  honai, rumah tempat warga tinggal. Di salah satu honai  itulah mumi Wim  Motok Mabel disimpan.
Mau  melihat mumi? Boleh. Tapi, harus nego dulu sebelum mereka mau   mengeluarkan mumi tersebut dari honai. “Ada tarifnya. Biasanya   pengunjung harus bayar Rp 25 ribu. Katanya sih untuk biaya perawatan,”   kata teman tadi.
Menurut  Batu Logo, salah seorang warga yang tinggal di perkampungan  tersebut,  Mumi Wim Motok Mabel adalah generasi ketujuh. Usianya saat ini  368  tahun. “Dia (Wim Motok Mabel, Red) adalah kepala suku perang.  Menurut  cerita orang tua kami, sebelum meninggal beliau berpesan agar  mayatnya  tidak dibakar. Beliau minta mayatnya diawetkan agar jasadnya  bisa  dilihat generasi berikutnya,” kata Batu Logo.
Meski  telah berusia 368 tahun, sebagian bentuk tubuh mumi itu masih  sangat  jelas. Terutama kepala, badan, dan kaki. Bahkan, kotekanya pun  masih  terlihat. “Untuk menjaga agar tidak rusak termakan usia, mumi itu   dirawat secara tradisional dengan pengasapan dan pengolesan lemak babi   ke seluruh tubuh mumi,” terang Batu Logo.
Mau  berfoto bersama Mumi, bisa. Tapi, lagi-lagi ada tarifnya. Bahkan,   berfoto dengan warga setempat yang mengenakan pakaian tradisional pun,   kita harus bayar. “Seorang Rp 5 ribu untuk sekali jepretan,” kata Batu   Logo.
Bahkan,  di depan salah satu honai, tampak pondok yang memajang hasil  kerajinan  tangan warga. Kotega berbagai jenis dan ukuran terlihat  bergantungan  di sana. Ada juga noken, kalung, gelang, dan beragam  kerajinan tangan  lain. Harganya juga bervariasi. Tapi, jangan dulu  berpikir “serbu”,  serba lima ribu. Kerajinan tangan di kios suvenir itu  berharga Rp 50  ribu hingga ratusan ribu rupiah.
[gallery link="file"]
 
0 komentar:
Posting Komentar